- Home >
- Karya Mahasiswa , Payung Hukum >
- Jurnalistik
Posted by : farez chaiber
Thursday, June 13, 2019
Ukuran sebuah produk jurnalistik seharusnya tidak ditentukan dari ada atau tidaknya badan hukum, tetapi dari aktivitas yang dilakukannya. Jika seseorang atau kelompok mencari, mengolah dan menyebarluaskan informasi secara teratur melalui media tertentu, itu adalah aktivitas jurnalistik. Dan sudah seharusnya menjadi bagian dari pers nasional. Tidak boleh tidak.
Sayangnya, “setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia,” begitu tertulis Pasal 9 dalam Undang-Undang 40/1999 tentang Pers. Artinya, setiap aktivitas jurnalistik yang tidak berbadan hukum bukanlah pers, termasuk dalam hal ini adalah pers mahasiswa.
Karena pers mahasiswa tidak berbadan hukum secara mandiri, pers mahasiswa masih bergantung kepada badan hukum milik perguruan tinggi tempat ia bernaung. Sehingga, pers mahasiswa masih dianggap sebagai tanggung jawab perguruan tinggi tersebut. Karena merasa pers mahasiswa berada di bawah komandonya, pimpinan kampus sering berbuat sewenang-wenang bila hasil liputan tak sesuai dengan keinginan mereka.
Kesewenangan itu misalnya tampak dari pimpinan kampus yang acapkali melakukan praktik penyensoran kepada pers mahasiswanya. Hasil reportase atau artikel dari pers mahasiswa tersebut harus dibaca dan periksa terlebih dahulu oleh dekanat atau rektorat kampus sebelum terbit. Praktik tersebut dilakukan agar pemberitaan sesuai dengan visi perguruan tinggi tersebut. Jika demikian, redaksi pers mahasiswa harus dipertanyakan independensinya.
Padahal Peraturan Dewan Pers mengenai kode etik jurnalistik menjelaskan bahwa wartawan Indonesia harus bersikap independen, atau memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan hati nurani tanpa campur tangan, paksaan dan intervensi dari pihak lain termasuk perusahaan pers.
Selain penyensoran, pers mahasiswa masih rentan terhadap penyunatan anggaran. Jika mengeluarkan berita-berita yang sarat muatan kritik, gelontoran dana dikurangi, ditunda bahkan dihentikan. Walau beberapa pers mahasiswa di Indonesia nekat angkat kaki dari kampus, terbukti mereka tidak mampu bertahan hidup. Jadinya seperti tempo, tempo terbit, tempo tidak.
Berdasarkan catatan PPMI saja, untuk periode 2014-2015 sudah terjadi 10 kasus yang dialami oleh pers mahasiswa. Termasuk didalamnya intimidasi empat kasus, diskriminasi satu kasus, pelarangan kegiatan tiga kasus, dan pembredelan tiga kasus. Pembekuan pers mahasiswa UKPKM Media Unram di Universitas Mataram (Unram) Kamis (29/11) adalah kasus pembredelan pers mahasiswa paling baru. Kabag Kemahasiswaan Unram menyisir gedung kemahasiswaan, lalu awak redaksinya dipaksa angkat kaki dari sekretariat. Alasannya : tidak memberitakan yang baik-baik terhadap kampus. Duh.
Pers Mahasiswa sebagai Bagian dari Pers Nasional
Selain berbadan hukum, perusahaan pers yang diakui pemerintah harus memiliki modal minimal Rp 50 juta, membiayai karyawannya, serta mendapatkan pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM. Persyaratan-persyaratan di ataslah yang tidak dapat dipenuhi oleh blogger, jurnalisme warga dan pers mahasiswa. Jangankan membiayai karyawan, anggota pers mahasiswa saja seringkali harus merogoh kantongnya untuk membiayai penerbitan majalah.
Pemahaman kita terhadap pers mahasiswa seharus ditempatkan pada konteksnya tersendiri. Pers mahasiswa berbeda dengan pers pada umumnya. Sebagai media alternatif, pada masa orde baru pers mahasiswa menjadi bagian yang integral dengan gerakan mahasiswa. Ketika represi pemerintah terhadap pers umum sangat kencang, pers mahasiswa menjadi opsi untuk mengkritisi pemerintah. Tidak luput, akhirnya mereka juga diberedel.
Berdasarkan catatan Suara Merdeka (1/11), ada beberapa kasus pers mahasiswa yang peredarannya ditarik secara paksa pada era Orde Baru. Misalnya Hayamwuruk dari Undip karena meliput golput pada 1993, Vokal dari IKIP PGRI Semarang yang mewawancarai Pramoedya Ananta Toer pada 1994, dan Arena dari IAIN Sunan Kalijaga karena membahas bisnis keluarga presiden pada 1995.
Ketika reformasi lahir, pers mahasiswa semakin tersingkirkan dari tempatnya karena kalah bersaing dengan pers umum yang semakin bertambah banyak. Pers mahasiswa juga kehilangan musuh alaminya, pemerintahan orde baru yang represif. Akhirnya, pers mahasiswa juga semakin terlokalisir di dalam kampus.
Agenda rekontekstualisasi pers mahasiswa pada era reformasi menuntut pers mahasiswa untuk menjadi lebih profesional, tanpa harus kehilangan daya kritisnya. Nah, Undang-Undang 40/1999 tentang Pers yang lahir pada transisi reformasi tersebut seharusnya dapat mengakomodir kebutuhan pers mahasiswa dan melindunginya.
Membuat badan hukum bagi pers mahasiswa adalah bentuk formalisasi yang harus dihindari. Sebab selain mengurangi esensinya yang selalu bergerak di luar arus utama, pers mahasiswa memiliki karakter khusus yang tidak dapat disamakan dengan perusahaan pers pada umumnya. Pers mahasiswa tidak dapat memenuhi ketentuan yang ditetapkan mengenai syarat perusahaan pers.
Salah satu pilihan paling rasional adalah dengan memasukan pers mahasiswa secara formal sebagai bagian dari pers nasional, tanpa harus membuatnya menjadi perusahaan pers seperti diatur Undang-Undang 40/1999 tentang Pers. Harapannya, hak konstitusional atau perlindungan hukum dapat menjamin kebebasan pers mahasiswa. Seperti jelas dinyatakan pada pasal 4 ayat 1, “terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran”.
Dengan demikian, wacana kebebasan pers yang digulirkan pada era reformasi memberikan dampak yang signifikan tidak hanya kepada pers umum, tetapi juga pers mahasiswa. Sebab sama dengan pers umum, pers mahasiswa juga butuh jaminan perlindungan dan pandangan yang setara di mata undang-undang.
GANTI HALAMA